Di banyak belahan dunia, kepemimpinan kerap ditampilkan melalui simbol kekuasaan: gedung megah, iring-iringan kendaraan, dan jarak yang tegas antara pemimpin dan rakyatnya. Namun di Kabupaten Kupang, wilayah dengan lanskap alam yang keras sekaligus indah di timur Indonesia, pendekatan yang berbeda justru menemukan momentumnya kesederhanaan.
Wakil Bupati Kupang, Aurum Titu Eki, kerap tampil tanpa atribut kemewahan. Busana yang bersahaja dan cara berinteraksi yang lugas bukanlah strategi pencitraan, melainkan refleksi dari filosofi kepemimpinan yang ia jalani: hadir tanpa jarak, memimpin tanpa meninggikan diri. Dalam konteks politik lokal yang sering kali diwarnai simbol status, pendekatan ini terasa kontras—dan justru itulah kekuatannya.
Kesederhanaan, dalam praktik kepemimpinan Aurum, bukanlah soal tampilan, tetapi soal cara bekerja. Ia memilih hadir langsung di tengah masyarakat, dari desa-desa terpencil hingga ruang diskusi kebijakan. Mendengar lebih dulu sebelum berbicara. Melihat langsung sebelum mengambil keputusan. Dalam proses itu, kebijakan tidak lahir dari laporan statistik semata, tetapi dari pengalaman nyata warga yang hidup dengan keterbatasan akses, infrastruktur, dan layanan dasar.
Pendekatan ini menyampaikan pesan penting yang relevan secara global: pembangunan tidak selalu berangkat dari kemegahan, tetapi dari kepekaan terhadap realitas. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi antara elite dan publik, gaya kepemimpinan yang membumi menjadi pengingat bahwa kepercayaan rakyat dibangun melalui konsistensi, bukan retorika.
Kabupaten Kupang, seperti banyak daerah lain di negara berkembang, menghadapi tantangan struktural yang kompleks—kemiskinan, ketimpangan layanan, dan keterbatasan sumber daya. Dalam situasi seperti itu, kepemimpinan yang sederhana namun hadir secara nyata dapat menjadi jangkar stabilitas sosial. Kesederhanaan memberi ruang bagi dialog, membuka akses, dan menciptakan rasa kepemilikan bersama atas proses pembangunan.
Apa yang dilakukan Aurum Titu Eki bukanlah solusi instan. Namun ia menawarkan pelajaran yang lebih luas: bahwa perubahan sering kali dimulai dari hal-hal paling mendasar—kehadiran, ketulusan, dan kerja bersama. Nilai-nilai yang tampak sederhana, tetapi justru semakin langka dalam lanskap politik modern.
Di Kupang, kesederhanaan bukan tanda kelemahan. Ia adalah strategi. Dan sejauh ini, strategi itu bekerja karena, berakar pada satu prinsip yang universal: kepemimpinan ada untuk melayani, bukan dilayani.(*Opini ini di tayang oleh,spektrum-ntt.com,Rabu, 17 Desember 2025
Penulis : Arif M.Bait