Oleh: Costa Ironi
Di era kepresidenan Jokowi, Indonesia melejit maju. Persepsi baik dari dunia global didapatkan. Prestasi dan prestise ini tidak terlepas dari perubahan massif yang dibawa oleh rezim Jokowi selama dua periode masa kepresidenannya. Harapan dan optimisme untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang semakin beradab merekah. Kita memiliki seorang Presiden yang sangat memperhatikan kesejahteraan seluruh rakyat indonesia. Tidak mengherankan bahwa approval rating dari pak Jokowi sebagai presiden mencapai 82%. Sebuah indikator untuk menilai tingkat kepuasan dari kinerja pak Jokowi. Harapan dan optimisme untuk menjadi bangsa yang besar semakin tebal dari hari ke hari.
Sebulan belakangan, publik Indonesia menemukan sosok yang sama sekali lain dari Jokowi sampai sejauh ini. Penyebabnya tidak lain adalah perubahan Undang-undang soal batas usia untuk seseorang menjadi presiden atau wakil presiden di Mahkama Konstitusi dan pencalonan Gibran sebagai wakil Presidennya Prabowo. Sederetan persitiwa ini tentu melahirkan banyak tafsiran. Dinastik politik, perpanjangan masa jabatan presiden, hingga Gibran menjadi bonekanya Jokowi menjadi makna yang sering diperas dari berbagai peristiwa yang terjadi. Konsekuensinya kehidupan publik entah pada ranah virtual maupun riil menjadi heboh dan gaduh. Pencalonan Gibran lahir di atas sebuah abnormalitas politik. Bahkan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden Prabowo adalah buah dari persekongkolan Yudikatif (Mahkama Konstitusi) dan Eksekutif (Presiden). Jokowi adalah bukan sosok yang tulus dalam berkuasa, melainkan sosok yang haus kekuasaan. Berbagai label negatif dan diskreditif diamanatkan padanya.
Menariknya bahwa pihak yang dirugikan oleh peristiwa-peristiwa sebagaimana disebutkan di atas menghujat Jokowi sehabis-habisnya. Kebaikan dan kebenaran yang diperjuangkan Jokowi selama sembilan tahun menjadi nir-arti dan nir-makna. Kerja sama partai politik yang mengusung Ganjar dan Mafud MD berada dalam etalase dan horison ini. Respon yang lain tentu datang dari pihak yang akan diuntungkan dengan majunya Gibran sebagai wakil Presiden Prabowo. Bagi mereka adalah lumrah dan biasa ketika undang-undang pemilu dirubah di Mahkama Konstitusi, majunya Gibran sebai calon wakil presiden Prabowo, Kaesang menjadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia. Sederetan peristiwa ini adalah hal yang lumrah dalam dunia demokrasi. Ditelaah lebih jauh, respon semacam di atas akan semakin memperkeruh iklim berpolitik pada tahun politik ini. Ideal zaman yang masih bergerak pada era post-truth melatarbelakangi ini. Post-truth, sebuah gejala ketika kepuasan sentimentalitas lebih diutamakan dari pada objektivitas dari persoalan dan fakta yang diperbincangkan. Berbagai diskursus publik yang terjadi pada arena virtual dan riil tidak lagi bertujuan untuk menawarkan pencerahan budi bagi publik, tetapi lebih kepada mengobok-obok sentimentalitas massa. Ulasan sedikit terhadap opini dari pihak yang diuntungkan dan dirugikan oleh manufer politik Jokowi dan keluarganya bisa menggambarkan potensi bahaya yang terkandung apa bila kita menutup mata terhadap kebaikan dan kekurangan yang ada.Menariknya bahwa semua opini yang berkelindan di dunia maya dan riil dibangun atas nama demokrasi. Etika dalam berpolitik dinihilkan menjadi benar dalam berdemokrasi. Berpolitik menjadi urusan individu dan tidak perlu mempertimbangkan perasaan moral dari liyan (yang lain). Tanggapan atas fenomena ini menjadi inti dari tulisan ini. Tanggapan ini dibangun dengan membedah kebutuhan psikologis dari pihak yang diuntungkan dan dirugikan oleh manufer politik Jokowi. Dari tanggapan inilah kemudian dibangun sintensa yang dapat memberi inspirasi epistemologis, etis, dan estetis dari bagi laku dan ngelmu kita saat ini dan ke depan.
Bahaya Menghasrati FinalitasBagi penulis respon pihak yang diuntungkan dan dirugikan oleh manufer politik Jokowi dan keluarganya berada pada etalase dan horison yang sama, yakni hasrat yang digerakan oleh fiksasi dan totalisasi diri. Kehidupan manusia bergerak pada aras keterserakan. Banyak hal berseliweran dalam kehidupan manusia. Kita kadang bingung dengan berbagai peristiwa yang datang dan pergi. Hasrat untuk finalisasi diri ditemukan ketika subjek mengabsolutisasikan fragmen-fragmen peristiwa hidupnya. Pengabsolutan ini tidak lain merupakan sebuah upaya untuk menemukan pegangan di hadapan keterserakan yang ada. Namun, yang diabsolutisasi tidak selamnya total dan selesai. Apa lagi ia dikenakan pada manusia. Subjek yang merupakan sebuah proyek yang tidak pernah selesai. Pengabsolutan hanya akan melahirkan kekecewaan dan keputusasaan. Konteks ruang dan waktu serta kepentingannya tentu menjadi latar yang akan senantiasa mengkondisikan tindakannya. Namun, tanpa pegangan, subjek tidak mungkin memiliki arah pada jalannya kehidupannya di jagad yang maha luas ini. Subjek apa pun memerlukan pegangan sehingga kehidupannya berjalan dalam keterarahan. Namun, sesuatu yang selalu ditekankan adalah bahwa ruang dan waktu selalu berubah, manusia pun selalu dihantui dalam hukum perubahan ini. Pegangan sudah sehrusnya hasil dari pengondisian zaman. Kita memerlukan pegangan sebagai respon etis dan estetis terhadap dinamika zaman. Yang salah dan keliru sekarang bukan berarti ia harus menegasi kebaikan dan kebenaran pada masa lalu. Kebaikan dan kebenaran sekarang tidak harus menegasi kesuraman masa lalu. Pengakuan yang jujur akan kesuraman dan kebaikan masa lalu dapat menjadi jembatan untuk melahirkan diskursus publik yang terapeutik terhadap kerusakan masa lalu dan mempertebal harapan untuk masa depan yang lebih cerah. Dengan pedoman dan prinsip ini kita memasuki estetitika abu-abu, yakni sebuah cara menilai dan bersikap di tengah gonjang-ganjing politik, ekonomi, dan budaya saat ini. Penulis meyakini bahwa estetika abu-abu dapat menjadi praksis yang darinya kita merestorasi kerusakan dan keretakan yang kini menggerogoti kehidupan berbagai multi dimensi kita di bangsa ini.
Kacamata Abu-AbuAbu-abu merupakan warna yang tidak mutlak hitam, tetapi juga tidak mutlak putih. Di dalamnya kita masih bisa melihat bekas bekas hitam dan bekas-bekas putih. Abu-abu merupakan perpaduan dari hitam dan putih. Hitam biasanya dikonotasikan sebagai yang buruk dan jahat. Lawannya putih, yakni warna yang siring dikonotasikan sebagai lambang kesucian dan kebaikan. Warna abu-abu boleh jadi mengandung keduanya, yakni kesucian dan kedurjanaan. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa bersikap dan berpandangan abu-abu boleh jadi membuat orang lebih saleh ketika memandang dan berdiri di hadapan kenyataan yang bergerak dalam aras kemenjadian. Dengan kacamata abu-abu, mungkin kita akan lebih bersikap adil dalam menilai Jokowi dan semua peristiwa politik yang kini terjadi. Berbagai persitiwa politik yang terjadi sekarang belum tentu merupakan antitesa menyeluruh terhadap berbagai kebaikan yang telah diperbuat Jokowi untuk bangsa dan republik ini. Namun, belum tentu juga bahwa kita harus memandangi semua yang terjadi saat ini dengan baik-baik atas nama demokrasi. Dengan bersikap jujur di hadapan kecerahan dan kesuraman yang ada, penulis meyakini bahwa berbagai diskursus publik akan melahirkan pencerahan terhadap kehidupan publik.
*Pengajar di SMA Sta. Angela Atambua